Hud-hud! Ponsel merinding, notifikasi jebol menggusur bilah info baterai.
Kanti tak mau membukanya. Ia paham betul tentang aturan berkendara, dan sikap di jalan raya. Tidak boleh bercukur, bermain remi, memakai kostum badut, membuka cabang soto, tidak boleh bercukur, bermain remi, dan seterusnya. Hal itu ia dapatkan setelah menyaring hal positif dari serial anak-anak. Yang entah episodenya terbatas, atau program tv yang kurang sponsor tak mampu membeli kaset baru—spons kuning, ikan buntal, dan balada sekolah mengemudi—yang terus disiarkan saban minggu pagi.
Pagi itu, ia berangkat sedikit lebih awal dari rata-rata pelajar berangkat sekolah. Tepat pukul 05.58, terhitung dari terakhir kali sidik jari menempel saat menutup gerbang. Cukup pagi, untuk menempuh jarak yang hanya sekitar separuh rentang Jembatan Suramadu. Hatinya sumringah, tubuhnya begah, pikiranya begitu orientasi masa depan, tentang putih abu-abu sepelangi cerita orang-orang—cinta monyet, ambisi perguruan tinggi, organisasi yang keren, ramai kantin, dan semua dongeng yang menghantui pikiran calon anak SMA pada umumnya.
Huftttt-haahhhh!
“Kece juga konsep gedung baru, temboknya masih ompong it’s oke, keren-keren siyapp, salaam dari Binjai.”
Pak-puk-pak-puk! Ia menebas pantat mionya yang dihinggapi debu semen.
“Salaam dari Binjai.” Batinnya kembali menyeru.
Ada anak yang melewatinya. Tak kenal, fakta jelas tanpa debat penolakan. Kami semua anak baru, bahkan sejak diterima hampir tak pernah menginjakkan kaki di sekolah. Tatapannya aneh. Matanya kosong kelopaknya menguncup, mungkin karena pipinya cempluk. Nampak kulitnya seperti ikan basi, tapi tetap putih. Tak ada senyum, hanya ada sedikit siluet sabit, itu pun tercuri pandang dari bilah rahang atas duckbill. Kalau psikolog boleh menebak, ia ingin senyum tapi kejiwaanya sedang diedel-edel. Ini tatapan aneh ke-3 setelah Pak satpam, dan anak OSIS bela negara yang sedang piket. Memaku diri di gerbang, tak tau tujuanya apa—intinya, organisasi adalah tempat belajar dengan praktik, katanya.
Kanti mempercepat langkah untuk menghindari petaka. Sebab setiap gerak-gerik orang aneh yang tak dikenal, kata iklan tv : Harus diwaspadai! Masuk joglo, lalu Kanti menerapkan prokes—mencuci tangan, cek suhu, memainkan dingin-perih handsanitizer dengan luka gesekan, baris hingga mengular dan lagi-lagi! Berpapasan dengan anak kelas lain yang merepangkan ekspresi aneh.
Pelajaran pertama dimulai—Olahraga.
Jiwa kepemimpinanya gatal, ia maju ke depan. Menemui Pak Feri untuk memintanya membubuhkan rasi bintang—yang serupa di KTP, SIM, KKnya, atau barangkali di buku diarynya juga—di jurnal. Ia juga membantunya mencoret nama-nama anak yang nihil.
“Anto aing maung, Ananda Manopo, Putri, Karina, Dwi Violet, ....” Ia meruah, hingga baris paling bawah.
Jujur ia tidak nyaman dengan mayat-mayat hidup di sekitarnya. Bahkan tertutup masker, aura pemberontakan dapat terasa jelas. Meleakkan diri, dari bayangan tubuh yang kosong. Semua mengetalasekan muka dingin, seolah-olah menahan boker! Bahkan jokesnya begitu garing tidak seperti biasanya.
Absen selesai, ia mundur kembali kebarisan teman-temannya.
“Ti, topengmu pakai!” Ucap anak satgas covid.
“Ha? Oh ... oke-oke.” Sebenarnya kanti kurang paham maksud kata ‘topeng’ ditelaahnya beberapa menit, mungkin maksudnya masker.
“Lapis dua!” Kali ini sedikit mendengus.
“Lah, ini lagi mapel olahraga yakali masker dua, engap lah gila.” Ia membatin. Sebagai tanda setuju malas beradu gagasan, ia menodongkan jempol kanan.
Pak Feri masih duduk di undak-undakan semen. Sepertinya tugas legalitas selesai, tandanya jurnal sudah ditutup. Materi sudah dibuka dari tadi, tapi ia masih sibuk mengatur alis mana yang akan dipakai mengajar hari ini. Mungkin ia takut jika topengnya pecah lagi, sebab terlalu emosi. Anaknya nakal, istrinya binal. Belum dikonfirmasi, masalah pribadi. Kabar burung yang beredar dari kakak kelas.
“Punten, permisi Pak Feri maaf dari kamar mandi, biasa anak perempuan.”
“Oke, segera duduk berbaris.”
Ana yang sedikit beruntusan di dahi-dahi, segera meninggalkan tempat. Jelas ia tau di mana ia harus duduk. Tanpa memancarkan sinyal, ia tau letak Kanti. Segera mereka melakukan tarian kepiting yang birahi. Entahlah, setiap sahabat memiliki gaya salamannya masingmasing.
“Cuy, kacau topeng apa yang kamu pakai? Gila, ini jelek banget, ga cocok sama auramu banget, engga ngaca kah ? Yakali spion burik dicuri orang.” Tutur Ana, menyadari kecerobohan gajak temannya.
“Lah, ini masker duckbill, kan kemarin janjianya pakek ini, ya setingkat lah sama KN95 masih ada gengsi-gengsinya.” Jelas Kanti.
“Bukan gitu Lolok, wahai username Sabar Menunggu ...”
“...Topeng muka, pakai yang bagus dikit lah .....” Tambah Ana sambil menowafkan kedua telunjuknya di muka.
“Anaaa sini Nak ...”
“ .... bentar aku dipanggil.” Ana menutup pembicaraan, Kanti masih belum nyambung.
“Owalah topeng! Punten, enggak nyambung, kukira masih topik kemarin malam, tanya masker yang pas kerudung, muka, sama mapel. Yoi, aku enggak pakek.”
“Lah Ti? Serius?”
“Iye, buruan keburu Bapaknya marah.” Ucapnya dengan santai.
Ana mengangkat badan, sesekali menghadap temannya di barisan belakang. Muka yang dipasangnya semakin aneh. Tidak percaya, menahan emosi, tertekan, tapi dipaksanya menyipitkan mata, sebagai bahasa wajah segan dan tidak apa-apa.
Kanti membuka ponsel dari sakunya. Ia lupa belum membuka sedari singgah, padahal sepertinya ada pesan penting yang tadi sempat memborbardir.
“Oh Mak e .... ‘Nduk, kelirmu ketinggalan’ ... iya Mak, Kanti engga pakek topeng hari ini sengaja, santai.” Diejanya satu persatu simbol bahasa keyboard, lalu mengirim pesan balik pada Mamaknya.
Ia tau, pasti Mamaknya cemas dan khawatir. Sebab ia tak memakai topeng sebagai raut muka palsu, yang bisa menutupi luka yang membiru. Menurutnya, sudah saatnya semua orangtidak harus pecitraan. Aya-aya wae. Apa adanya, yang penting pelampiasan masalah bukan membakar ladang yang lain. Biarlah kehidupan yang terus berjalan, melerai-lupakan perih di kejadian lain.
Prittttttt!
“Hari ini, tidak materi dulu kalian sudah jauh di depan. Untuk laki silahkan sepak bola, perempuan bebas mau bulu tangkis atau lainnya. Bapak tutup, kurang lebihnya terima kasih.”
Ana kembali, kali ini alisnya semakin mencuram diterpa terik siang yang purna. Sepertinya, ia masih heran pada Kanti atas perlakuanya yang kelewat batas, atau barangkali nilainya jelek hingga batinnya terkuras.
“Ti! Cuci muka gih, kacau bisa-bisanya ga pakek topeng, dikira ini kamarmu pukul 11 malam, bisa bebas pakai ekspresi yang paling kelam?”
“Yaudah iya ini, ayo ikut ...”
“Stop! Ke kamar mandi? Aku mau ke BK mengurus absensi kelas, pumpung santai,
oke bay.” Ana menyela.
Kanti tidak mau egois. Dipikirnya benar juga, memang urusan penampilan orang lain yang menilai, bukan dia yang menikmati. Ia menuju ke kamar mandi perempuan. Letaknya 3 lorong kelas 11, belok kiri, menghadap laboratorium kimia. Secara geografis, letaknya di sudut belakang sekolah. Sebenarnya ada kamar mandi di lorong lain. Cuman kamar mandi ini impian—masih suci dan perawan, sebab ikut proyek pembangunan gedung baru.
Sworrrrrrrrr kricik-kricik!
Beberapa langkah lagi, kanti akan sampai di tempat memperbaiki—melepaskan topeng sejenak orang-orang. Bau pinus begitu segar, lampu-lampu mati, tapi dapat dipastikan hidup nampak coretan garansi yang ditulis manual begitu besar. Keramik gaya toilet eropa, warna dinding krim pelembab sebagai representatif dari bersih, tidak harus putih. Ia begitu bersyukur, sepertinya toilet sepi hanya ada dia dan ricuh air yang menghujani lambung tandon. Selain itu, ia mensyukuri belum bertemu—mengadu muka dengan siswa lain yang bertopeng.
Ia masuk, nampak ada perempuan, badge kelasnya hijau. Sepertinya adik kelas, atau sebayanya yang belum mengganti badge—dihakimi guru-guru sebagai pemalas menjahit, atau kafir! Sebab tidak menaati aturan—padahal, beberapa di antara mereka bukan karena malas, tapi karena tuntutan ekonomi. Mereka tidak mau terlihat lemah menunjukkan masalahnya tidak bisa membeli—atau percuma, ujung-ujungnya sama. Bantuan KIP tidak tepat sasaran, bahkan ini sudah rahasia umum, duka sosial di setiap kesetimpangan.
Perempuan itu memotret mukanya yang kumuh di kaca, sepaket dengan pelupuk matanya yang sembab dan subur jika ditanami padi. Seperti yang dilakukan orang-orang sebelum jaman bertopeng, dan pukul 11 malam di kamarnya masing-masing. Mengetahui ada orang di sekitarnya, ia cepat-cepat memakai topeng—senyum dan menahan sesuatu seperti boker. Kanti masuk, ia langsung menyerobot keluar. Langkahnya deras sambil menutup muka, memasang maskernya yang belum terpakai sempurna. Kerudungnya terhempas, namanya terpampang jelas. Rani, junior basket sekolah yang kalah tanding saat final.
“Oh, bukan mengisi tandon, tapi anak itu yang memang nyalain air sampai mentok.” Kanti membatin, ia menutup perbicangan satu arah, sebagai aksi paham suasana.
Kanti membaca atmosfer. Rani barangkali akan mengakhiri hidupnya dengan mati konyol dan rasa malu yang berkoar-koar, atas sikap memberanikan diri membuka topeng. Sebab luka di mukanya yang begitu perih tertindih, begitu lelah munafik senyum sejak beberapa hari. Setelah beberapa saat, sepertinya ia mengurungkan niatnya lalu cukup mengabadikan momen jatuhnya sebagai pengingat, bahwa ia pernah begitu kuat. Cuci muka sebagai penyatuan hilir yang tak terbendung; dipakainya kembali topeng adalah sanggahan interupsi, kepada keadaan yang belum jadi oposisi.
Setelah cuci muka dan merasa sedikit segar, Kanti menuju pusat pemasok energi para makluk sekolah. Pusat yang tidak akan didatangi anak-anak terlilit kas, bekal nasi dan gorengan, atau uang saku yang habis dipakai mencicil SPP.
Hanya satu lapak yang buka, itu pun sepertinya tidak komplit. Kanti mendekati lapak tersebut, nampak Ibu-ibu tua pemilik warung. Tangannya sarung wadimor, dengan pola industri bercak-bercak—yang bisa ditebak dari letupan minyak. Sekitar umur 50 tahun, jika dilihat dari rambut ikal semi putih, dan kulitnya serupa leher babi hutan.
Saat Bu kantin berbalik badan, ia tekejut. Ibu itu memiliki senyum yang manis. Begitu ikhlas, bahkan jika dibandingkan senyumnya di potret kaca kamar mandi. Meski tidak didukung dengan penampilannya yang poncang-pancing, Ibu itu masih terlihat sempurna. Senyum yang dirindukan, senyum yang lama tak ditampilkan banyak orang. Namun tak lama, muka ikhlas itu harus ditutup masker.
“Beli apa Nduk.” Ucapnya memecah suasana.
“Roti niki mawon Bu, satu.”
“Engga tambah lagi yang lain? Air? Lemper?” Tambahnya. Cara menawarkanya begitu anggun, begitu jernih tanpa emosi meminta atau paksaan.
“Sampun Bu, niku mawon.”
Sebelum kanti mengeluarkan uang, Ibu itu sudah merayapi bayangannya. Bahkan begitu dekat. Ninuninu! Sedikit melanggar protokol kesahatan.
“Nduk, kamu engga pakai topeng? Mau Ibu pinjami?” Bisiknya begitu pelan. Memang sedikit tabu ketika membicarakan topeng di jaman ini. Beberapa orang menganggap wajah adalah kemaluan, dan topeng adalah penutup muka wajib, bagi yang sudah balig—sudah besar—semakin banyak masalah yang bertengger di muka.
Kanti langsung memahami topik, “Lah, Ibu sendiri juga engga pakai kan?” Timbalnya sedikit keras dan lancang.
“Ibu sudah tua, pun kalau pakai topeng malah semakin jelek. Ibu mau tanya, kenapa kamu berani engga pakai topeng selain dasarnya kamu cantik?” Obrolan semakin bisa didengar jelas, Kanti sedikit senyum.
“Alhamdulillah, Kanti beryukur Bu. Aku rindu orang-orang senyum ikhlas sesuci senyum Ibu waktu tadi”
“Bagus, alhamdulillah.”
“Ini roti, gratis ambil aja buat bekal, ibu tau rasanya engga pakai topeng, apalagi kamu masih muda, gengsi usia lagi tinggi-tingginya, sok kuat lah, dan lain-lain.”
“Engga Bu makasih, aku ada uang kok lumayan.”
“Pelajaran kedua, engga usah sok kuat kamu sudah lepas topeng, jadi bener-bener keliatan aura masalahmu walaupun berselimut hijab dan bermuka masker. Ini dari Ibu, mohon diterima.” Tegas Bu Kantin.
“Alhamdulillah, makasih Bu.”
“Kamu yang kuat ya, bener-bener kuat sampai bisa, bukan sok kuat agar diacungi jempol, reaksi temen kelas gimana? Aneh ya? Agak sinis? Engga apa-apa, cepat lambat mereka bakal sadar kok, tapi buat saat ini kamu siap-siap jadi tersangka hukum alam, algojonya—ya teman-teman.”
“Enggeh Bu, matur sembah nuwun.”
****
Bertopeng atau Mati, Lebih Baik Aku Dizalimi
Untuk semua orang yang berguru mimik wajah pada : Teru-teru bozu
Kupikir orang-orang bukan terkena covid,
Tapi rombongannya yang menjangkit—
Menggerogoti—merongrong—mengikis
Setiap membuka mata; batin keselapan kopi dan terjaga
Kata Bu Guru, teru-teru bozu adalah boneka munafik
Yang dipatenkan semua tersenyum, meski ceritanya pelik—seperti orang-orang
Agar tidak menakuti anak-anak; dan membayang-bayangi cerita perih
Kisah biksu yang dipenggal; orang-orang kini yang dikuliti kejadian janggal
Bagaimana tidak?
Kejadian eksentrik sering terjadi :
Tak ada gagak—tapi ada keluarga mati
Tak ada badai hujan—ruko sepi kelendang-kelendang
Uang terus dicetak—memiliki pun tak ada hak
Muka didempul, sebab tak ada yang bisa mewadukkan diri,
Menerima hilir darah yang bocor dari katup mimpi.
Barangkali Tuhan tidak adil,
“Dosa! Se-asmaul husna apa kamu, menyalahkan Tuhan?”
Barangkali takdir kelewat batas,
“Allah tidak memberi cobaan di luar kemampuan makluk-Nya.”
Barangkali, teruslah batinmu kau ciderai!
Lucu kadang, jika ditakwilkan
‘Dewasa bukan angka, tapi kelakuan’
Sepertinya negara perlu membuat sekolah kejiwaan
Jika tidak ada yang memulai, cerita tak akan pernah selesai
Sudah kuduga, batin mereka akan bicara,
“Sebaiknya kau bertopeng, bertopeng atau mati!”
“Lebih baik aku dizalimi.”
Aku terbit, biarlah kau terus syirik
Kanti-3 bulan setelah Mei-2021
*****
Pelangi melingkar di matanya, sejuk di hati, dan melubangkan diri di kedua pipi. Kanti begitu senang dan kenyang. Selain karena roti gratis, akhirnya dia menemukan orang yang sepaham mengenai budaya salah ini. Budaya yang terus berkembang sejalan dengan wabah, budaya yang sulit dikendalikan bahkan dengan khotbah.
“Cepat-lambat semua akan sadar, berkutat dengan masa lalu, gali lubang tutup lubang masalah, adalah hal paling bodoh. Mereka akan menyesal banyaknya waktu yang terbuang
Tekong-tekongan : Sebutan permainan sembunyi-sembunyian bagi anak-anak suku Jawa.
hanya dengan memikirkan masalahnya yang telah lalu, dipendam sendiri—tak ada masukan yang bisa diimpor nurani.” Doanya menutup tulisan.
Dengan suasana hatinya saat ini, ia berani segera ke kelas menemui mayat-mayat mati itu. Sesampainya di kelas, dan benar! Mereka masih benar-benar suri. Nampak semakin parah, mungkin sebab mereka berkoloni. Muka-muka mereka, adalah teletabis di tv hitam putih.
Mereka terus berbincang satu sama lain tapi diam saat melihat Kanti. Mereka nampak akrab bermain tekong-tekongan, walaupun agak garing sebab sudah tau kalau lawannya bersembunyi di balik topeng itu. Saat kanti melewati meja yang diitari mereka, mulut topengnya tak bergerak, yang berbicara hanya batin dan aura kekalahan seraya berkata,
“Seharusnya kau bertopeng, bertopeng atau mati.”
“Lebih baik aku dizalimi.” Ia menghardik; ia melempar kertasnya seperti remi.
Surabaya, November 2021